Dalam pernikahan, jika salah satu pasangan suka playing victim atau memiliki sikap atau mentalitas sebagai korban maka hubungan tersebut tidak sehat dan tidak akan harmonis. Mengapa demikian? Apa dampak dari pasangan yang suka playing victim?
Orang yang bersikap sebagai korban cenderung menyalahkan orang lain atau keadaan atas kesulitan yang mereka alami, tanpa mengakui tanggung jawab pribadi dalam situasi tersebut. Mereka sering mencari simpati, perhatian, atau dukungan, dengan membuat orang lain berpandangan bahwa mereka mendapat perlakuan yang tidak adil.
Individu yang mengalami trauma atau pengalaman buruk di masa lalu mungkin mengembangkan perilaku korban sebagai mekanisme bertahan. Mereka mungkin menggunakan peran korban sebagai cara untuk melindungi diri dari rasa sakit atau melampiaskan pengalaman traumatis.
Seseorang yang tidak memiliki keterampilan komunikasi yang baik memiliki kecenderungan mengambil sikap sebagai korban sebagai cara untuk mengekspresikan ketidakpuasan atau kekecewaan. Mereka mungkin tidak tahu cara menyampaikan perasaan mereka dengan cara yang lebih sehat.
Individu yang memiliki kepercayaan diri yang rendah mungkin merasa sulit untuk mengatasi konflik atau masalah. Oleh karena itu, mereka mungkin mengambil mengambil posisi sebagai korban sebagai cara untuk mencari perhatian dan memperoleh dukungan.
Beberapa orang bersikap playing victim sebagai cara untuk mendapatkan perhatian atau validasi dari pasangan mereka. Mereka mungkin percaya bahwa dengan mencari simpati dengan cara itu akan lebih diperhatikan atau dihargai.
Ketidakseimbangan kekuasaan dalam hubungan dapat menjadi faktor pendorong seseorang bersikap playing victim. Seseorang yang merasa tidak memiliki kendali atau kekuatan dalam hubungan mungkin cenderung berperan sebagai korban.
Individu yang enggan atau tidak mau mengambil tanggung jawab atas tindakan atau keputusan mereka sendiri dapat cenderung menyalahkan orang lain atau situasi, menciptakan pola playing victim.
BACA JUGA:
Ini Cara Membuat Batasan Hubungan yang Sehat dalam Pernikahan KristenMenyeimbangkan Antara Cinta pada Pasangan dan Cinta pada Orang Tua, Apakah Bisa?
Dalam menyikapi pasangan yang berperan sebagai korban dalam pernikahan, penting untuk mengadopsi pendekatan yang empatik dan konstruktif. Pertama, komunikasi terbuka dan jujur menjadi kunci hubungan yang sehat dalam pernikahan. Cobalah untuk memahami perasaan dan perspektif pasangan tanpa menyalahkan atau mengkritik secara langsung. Dorong pasangan untuk berbicara terbuka mengenai perasaannya dan berikan dukungan emosional.
Selanjutnya, ajak pasangan untuk bersama-sama mencari solusi atas masalah yang dihadapi. Fokus pada kolaborasi daripada menyalahkan, dan bangun kepercayaan dengan menunjukkan bahwa Anda peduli dengan kebahagiaan dan kesejahteraannya. Jika perlu, pertimbangkan untuk mencari bantuan profesional, seperti konseling pernikahan, untuk membimbing proses komunikasi dan pemecahan masalah.
Tetap teguh terhadap batasan-batasan yang sehat dalam hubungan dan dorong tanggung jawab bersama. Dengan menciptakan lingkungan yang mendukung untuk bertumbuh bersama, Anda dapat membantu pasangan mengatasi mentalitas korban dan membangun hubungan yang lebih kuat dan sehat.
Apakah Anda mengalami permasalahan serupa dalam pernikahan Anda? Jika Anda sedang mengalami pergumulan dalam pernikahan dan keluarga Anda dan rindu untuk di doakan, hubungi kami di Layanan Doa dan Konseling CBN dengan KLIK DISINI. Kami selalu siap untuk berdoa dan menguatkan Anda.
Sumber : Berbagai Sumber / Puji Astuti